Tercelanya Menafsirkan Al-Qur’an bagi Orang Awam

Tulisan ini awalnya dimuat untuk Suplemen Awak BPPM Balairung di bulan Ramadhan. Ku pikir kenapa tidak dipublikasikan disini juga?

Photo by Syed Aoun Abbas on Unsplash

Semua orang bebas untuk memaknai dan menafsirkan sebuah tulisan dengan opini mereka masing-masing dan pemahaman masing-masing yang keluar dari benak mereka, tetapi tidak dengan Al-Qur’an. At tafsir bir ra’yi, penafsiran seseorang dalam menjelaskan makna-makna Al Qur’an dengan suatu pemahaman khusus yang hanya berlandaskan dengan ra’yu (opini) semata (Mabahits fi Ulumil Qur’an, 351) adalah haram dan terlarang melakukannya. Allah ta’ala berfirman:

وَلا تَقفُ ما لَيسَ لَكَ بِهِ عِلمٌ ۚ إِنَّ السَّمعَ وَالبَصَرَ وَالفُؤادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كانَ عَنهُ مَسئولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra: 36).

Maka kira-kira apa yang dipahami seorang yang ‘awam’ tatkala membaca terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya potongan ayat berikut:

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al An’am: 114).

Bisa jadi seorang awam yang membaca ayat di atas akan menyimpulkan bahwa, dasar hukum yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana pemahaman orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW.

“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. (QS. An Nahl: 67)

Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamar atau minuman yang memabukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah. Padahal, bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di atas, dapat memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru.

Taqlid, Ittiba’, dan Ijtihad

Secara kebahasaan, kata taqlid adalah bentuk mashdar dari kata qallada-yuqallidu-taqlidan, yang juga dapat diartikan dengan “meletakkan kalung di leher seseorang”[1]. Sedangkan secara istilah definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:

قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ​​

“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”

Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[2]

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini.[3] Ittiba’ merupakan solusi bagi yang tidak mumpuni dalam memahami agama, namun agama melarang untuk tidak belajar. Maka, ittiba’ belajar kepada mujtahid (orang yang ber-ijtihad).

Kemudian, Imam Al Ghazali menjelaskan tentang syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:

“Harus mengetahui lengkap dalil-dalil syar’i (madarik asy syar’) yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang membuahkan hukum dan mengetahui tata cara membuahkannya.”

Adapun dalil yang membuahkan hukum ada empat: (1) Al Qur’an (2) As Sunnah (3) Al Ijma’ (4) Akal. Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok yaitu (1) ilmu tentang cara menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih) (2) ilmu bahasa Arab dan nahwu, dan dua ilmu penyempurna yaitu (1) nasikh mansukh (2) ilmu musthalah hadits.”. [4]

Tradisi Belajar dalam Islam

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya ada dua; antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang awal, maka hal tersebut sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi pastilah akan terbengkalai. Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang ditempuh, yaitu taqlid.[5]

Empat imam mazhab melarang orang lain bertaqlid–karena bagi mereka wajib bertaqlid akan membuat tersesat dalam menjalankan agama. Maka, pilihan kita adalah untuk kembali pada imam tersebut untuk menghindari menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu.[6] Belajarlah jika mampu meneliti. Jika tidak mampu maka wajib mengikuti (ittiba’), namun kita harus tahu landasan dalil ulama yang diikutinya. Jika tidak dua-duanya maka hal ini berbahaya, karena akan jatuh pada taqlid.

Daftar Pustaka

[1]Raudhah An Nadzir 2/449
[2]Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450
[3]I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236
[4]Al Musthashfa 1/342–343.
[5]Alla Mazhabiyyah: Akhar bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70–73, Takhrij Ahadits Al Luma’ h. 348.
[6]Al-Mizan Al-Kubra 1/62

--

--

Jessica S. Muthmaina | The Moon Writer

Guiding those in search of light, the moon writer pens narratives designed specifically for the blind, illuminating worlds through the power of words.