Olbers’ Paradox: Mengapa Langit Malam itu Gelap?

Jika kamu pernah melihat ke langit malam dan berpikir mengapa langit itu gelap dan tidak penuh dengan jumlah bintang yang kita tahu berjumlah tak terbatas di luar sana, kamu tidak sendirian. Faktanya, pertanyaan ini adalah salah satu teka-teki tertua dalam astronomi.

Photo by Chan Hoi on Unsplash

Dari sudut pandang kita di Tata Surya, sangat masuk akal mengapa kita melihat langit bersinar pada siang hari dan gelap pada malam hari. Pada siang hari, sinar matahari membanjiri atmosfer kita ke segala arah, baik sinar matahari langsung maupun pantulan datang kepada kita dari mana pun yang dapat kita lihat. Pada malam hari, sinar matahari tidak membanjiri atmosfer, sehingga gelap di mana-mana di langit sehingga tidak ada titik terang, seperti bintang, planet, atau Bulan.

Namun, mungkin kita mulai bertanya-tanya sedikit lebih dalam dari itu. Jika alam semesta tidak terbatas, bukankah garis pandang kita pada akhirnya akan bertemu dengan bintang tidak peduli ke arah mana kita memandang? Mengingat ada triliunan galaksi di luar sana, dan teleskop yang mampu melihat galaksi redup yang tidak dapat dilihat oleh mata kita, mengapa gabungan cahaya dari semua bintang tidak menerangi setiap titik di langit?

Jawaban dari Nenek Moyang Kita Dahulu

Photo by Guillermo Ferla on Unsplash

Kita mungkin mengira ada jawaban sederhana untuk pertanyaan ini: pasti langit malam gelap karena matahari terbenam.

Namun, saat Bumi berputar pada porosnya. Kita akan melihat bintang-bintang lain yang tak terhitung banyaknya. Bintang-bintang ini mungkin lebih jauh, pun sangat banyak. Hal ini mungkin terdengar aneh karena seharusnya bintang-bintang yang sangat banyak bisa menerangi kita melebihi matahari. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan ini lebih mendalam dan akan memberi kita wawasan tentang sifat alam semesta.

Mari kita coba kembali kepada apa yang dianggap benar oleh nenek moyang kita mengenai alam semesta. Di langit terdapat Matahari, Bulan, planet-planet dan bintang-bintang yang akan selalu terbit kembali setelah terbenam. Berdasarkan pengamatan tersebut, nenek moyang kita menarik kesimpulan berikut tentang alam semesta:

  1. bahwa alam semesta sama di semua arah karena kita melihat bintang di setiap arah yang kita lihat (biasa disebut alam semesta yang homogen)
  2. bahwa alam semesta tidak berubah, selamanya tetap sama, karena tidak ada yang berubah setiap tahun (alam semesta yang statis)
  3. bahwa alam semesta itu tak terhingga, karena ketika teleskop berkembang seiring bertambahnya pengetahuan manusia, semakin banyak bintang redup yang ditemukan di setiap bagian langit.

Jika semua hal di atas ini benar, maka setiap garis pandang, setiap tempat yang kita lihat di ruang angkasa pada akhirnya akan terjadi pada sebuah bintang.

Sajak Edgar Allan Poe

Coba kita bayangkan mengambil sepetak kecil langit, mungkin seukuran ibu jari. Kemudian coba kita melihat langit malam, kita akan menemukan bahwa kita dapat menutup Bulan dari langit dengan ibu jari kita.

Kita tahu bahwa pada kenyataannya Bulan jauh lebih besar dari ibu jari kita. Alasan mengapa ibu jari kita dapat menutup seluruh Bulan adalah karena perspektif.

Sekarang bayangkan jika ibu jari kita bersinar. Semakin dekat dengan kita maka akan terlihat semakin cerah. Semakin jauh jaraknya, akan semakin redup. Para astronom telah lama mengetahui bahwa bintang akan lebih redup dengan jarak yang lebih jauh, dan seperti perspektif, hal tersebut bergantung pada kuadrat jarak.

Sekarang bayangkan pada langit yang homogen yang sama ke segala arah dan tak terhingga. Pada setiap tahun cahaya, pada segala arah yang kita lihat, kita akan mempunyai jumlah kecerahan yang sama pada bintang-bintang. Dengan jumlah tahun cahaya yang tak terhingga, langit malam seharusnya akan sangat terang dan menyilaukan! Lalu mengapa langit gelap?

Edgar Allan Poe pernah menyinggung hal ini dalam salah satu sajaknya “Eureka: A Prose Poem”:

Were the succession of stars endless, then the background of the sky would present us a uniform luminosity, like that displayed by the Galaxy — since there could be absolutely no point, in all that background, at which would not exist a star. The only mode, therefore, in which, under such a state of affairs, we could comprehend the voids which our telescopes find in innumerable directions, would be by supposing the distance of the invisible background so immense that no ray from it has yet been able to reach us at all.

Edgar memiliki alasan mengapa langit menjadi gelap adalah karena alam semesta itu tak terhingga. Alam semesta memiliki usia tertentu, sejak penciptaannya. Kita hanya dapat melihat cahaya bintang-bintang yang memiliki cukup waktu untuk sampai kepada kita sejak awal penciptaan.

Alam Semesta yang Mengembang

Kita tahu bahwa bahwa alam semesta bermula dari Big Bang sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu. Cahaya membutuhkan waktu untuk mencapai kita, maka akan ada ‘alam semesta (bintang) yang dapat diamati’. Namun, akan ada juga bintang yang tidak bisa kita lihat.

Hal lain yang kita ketahui dari teori Big Bang adalah bahwa Alam Semesta tidak terhingga, tetapi memiliki ukuran yang terbatas. Maka cahaya tidak hanya akan membutuhkan waktu untuk mencapai kita, tetapi kita juga tidak akan memiliki jumlah tahun cahaya yang tak terhingga di sepanjang satu garis pandang. Akibatnya, kita tidak akan memiliki jumlah bintang tak terhingga yang dibutuhkan untuk membuat langit malam cerah.

Pada saat yang sama kita harus ingat bahwa semesta selalu mengembang, karena ruang angkasa itu sendiri mengembang. Perluasan ruang ini membentangkan gelombang cahaya yang melintasinya. Semakin jauh cahaya bergerak di alam semesta, semakin banyak pergeseran merahnya (redshift).

Ruang angkasa telah meluas sedemikian rupa sehingga semua cahaya tampak dari benda-benda terjauh di alam semesta telah direntangkan melampaui cahaya merah kasat mata yang menjadi inframerah dan bahkan gelombang mikro. Gelombang ini tidak lagi terlihat oleh mata manusia kita yang lemah sehingga kecemerlangan sebenarnya dari langit malam, pada kenyataannya, sepenuhnya tersembunyi dari kita.

--

--

Jessica S. Muthmaina | The Moon Writer

Guiding those in search of light, the moon writer pens narratives designed specifically for the blind, illuminating worlds through the power of words.