Hidup dalam Bayang-bayang Stigma: Bagaimana Diskriminasi Sosial dan Ekonomi Mempengaruhi Pasien Bipolar dan BPD

--

Perbandingan tanda dan gejala gangguan kepribadian ambang dan gangguan bipolar. (Ding J B & Hu K, 2021)

Gangguan Mental Bipolar (Bipolar Disorder) dan Gangguan Kepribadian Ambang (Borderline Personality Disorder) seringkali dianggap sebagai kondisi mental yang kontroversial dan membingungkan oleh masyarakat umum. Meskipun kedua gangguan ini memiliki perbedaan klinis yang signifikan, namun keduanya seringkali disalahartikan, dipandang sebelah mata, dan bahkan dianggap tidak nyata. Bahkan, lebih parah lagi, pasien yang menderita kedua gangguan ini seringkali menghadapi stigmatisasi ganda, yaitu stigmatisasi karena kondisi mentalnya dan stigmatisasi karena gangguan kepribadiannya.

Pasien Bipolar dan BPD bukan hanya berjuang melawan penyakit mental mereka, tetapi juga menghadapi diskriminasi sosial dan ekonomi yang seringkali melumpuhkan kualitas hidup mereka. Stigma dan diskriminasi ini merusak kesehatan mental dan fisik pasien, serta memperburuk pengalaman hidup mereka. Dalam studi Subu et al. (2021) menunjukkan bahwa stigma sosial dan ekonomi seringkali terjadi pada pasien dengan gangguan mental di Indonesia. Stigma sosial diwujudkan dalam bentuk diskriminasi dan perlakuan tidak adil dari masyarakat, seperti pengucilan, penyekatan hak, dan ketidakberdayaan. Sementara itu, stigma ekonomi dapat mengarah pada kesulitan dalam mencari pekerjaan dan kesulitan ekonomi akibat pengobatan yang mahal. Dalam hal ini, pasien dengan gangguan Bipolar dan BPD seringkali mengalami stigma sosial dan ekonomi yang mempengaruhi pengalaman hidup mereka. Stigma sosial dan ekonomi tersebut dapat menimbulkan rasa malu dan perasaan rendah diri pada pasien, serta membuat mereka sulit dalam mencari pekerjaan dan menikmati hak-hak yang sama seperti orang lain.

Dalam studi oleh Bonnington, O., & Rose, D. (2014) menunjukkan bahwa stigma terhadap orang yang didiagnosis dengan Bipolar dan BPD sangat kompleks. Stigma ini dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk ketidakpahaman masyarakat tentang gangguan tersebut serta label negatif yang terkait dengan diagnosis tersebut. Pasien juga mengalami stigmatisasi karena dianggap “berbeda” dari norma sosial yang ditetapkan. Hal ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan diskriminasi. Selain itu, pasien juga harus menghadapi diskriminasi ekonomi, seperti kesulitan mendapatkan pekerjaan dan asuransi kesehatan yang memadai. Semua faktor ini menyebabkan pasien bipolar dan BPD hidup dalam bayang-bayang stigma yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka dan pengalaman hidup mereka secara keseluruhan.

Quenneville et al. (2020) menjelaskan bahwa stigma internalisasi lebih sering dialami oleh pasien dengan BPD dan Gangguan Hiperaktivitas dan Impulsivitas (ADHD) daripada pasien dengan Bipolar Disorder. Stigma internalisasi terjadi ketika individu memperoleh pandangan negatif tentang diri mereka sendiri sebagai akibat dari stigma yang diterima dari masyarakat luas. Hal ini mengakibatkan pasien merasa malu, rendah diri, dan merasa tidak berharga. Pasien dengan BPD dan ADHD cenderung lebih terpengaruh oleh stigma internalisasi karena mereka mengalami gejala yang lebih menonjol dalam interaksi sosial, seperti impulsifitas dan emosi yang labil. Studi tersebut juga menyimpulkan bahwa pasien dengan BPD dan ADHD mengalami diskriminasi lebih banyak daripada pasien dengan Bipolar Disorder, terutama dalam hal akses dan pengalaman perawatan kesehatan mental. Dengan demikian, stigma dan diskriminasi sosial dan ekonomi memperburuk pengalaman hidup pasien dengan BPD dan ADHD, yang sudah begitu sulit dengan gejala penyakitnya.

Kesimpulannya kita harus mengakui bahwa stigma dan diskriminasi sosial dan ekonomi terhadap pasien dengan Bipolar Disorder dan Gangguan Kepribadian Ambang merupakan masalah serius yang memperburuk pengalaman hidup mereka. Stigma ini bukan hanya terbatas pada persepsi negatif dari masyarakat luas, tetapi juga tercermin dalam pandangan diri pasien. Lebih mengkhawatirkan lagi, stigma ini dipertahankan oleh ketidakadilan sosial dan ekonomi serta diskriminasi yang terus berlanjut. Pasien harus terus berjuang melawan stigma ini dan bahkan merasakan stres psikologis akibat stigma yang diterima. Oleh karena itu, diperlukan perubahan mendasar dalam cara kita memperlakukan dan memandang pasien dengan disabilitas mental. Kita harus bersama-sama melawan stigma ini dengan mengedukasi diri kita sendiri, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memperjuangkan hak-hak pasien yang lebih adil dan layak. Kita harus memberikan dukungan dan empati kepada mereka, bukan menambah beban mereka dengan stigma dan diskriminasi. Kita harus memberikan ruang dan kesempatan bagi pasien untuk meraih kesuksesan dan memenuhi potensi mereka tanpa terhalang oleh stigma dan diskriminasi sosial dan ekonomi. Hidup dalam bayang-bayang stigma bukanlah pilihan, tetapi kita bisa menjadi bagian dari solusi untuk mengakhiri stigma ini dan menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif untuk semua orang.

Bonnington, O., & Rose, D. (2014). Exploring stigmatisation among people diagnosed with either bipolar disorder or borderline personality disorder: a critical realist analysis. Social science & medicine (1982), 123, 7–17. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2014.10.048

Subu, M.A., Wati, D.F., Netrida, N. et al. Types of stigma experienced by patients with mental illness and mental health nurses in Indonesia: a qualitative content analysis. Int J Ment Health Syst 15, 77 (2021). https://doi.org/10.1186/s13033-021-00502-x

Quenneville, A. F., Badoud, D., Nicastro, R., Jermann, F., Favre, S., Kung, A. L., Euler, S., Perroud, N., & Richard-Lepouriel, H. (2020). Internalized stigmatization in borderline personality disorder and attention deficit hyperactivity disorder in comparison to bipolar disorder. Journal of affective disorders, 262, 317–322. https://doi.org/10.1016/j.jad.2019.10.053

--

--

Jessica S. Muthmaina | The Moon Writer

Guiding those in search of light, the moon writer pens narratives designed specifically for the blind, illuminating worlds through the power of words.